Jumat, 16 Mei 2014

MK BUKAN BENTENG PERTAHANAN TERAKHIR KPU




Fenomena mengajukan permohonan penyelesaian sengketa hasil pemilu yang dilakukan sebagian peserta pemilu baik untuk pemilihan eksekutif maupun legislatif ditingkat pusat dan daerah tampaknya telah bergeser dari suatu peluang hukum yang dimaksudkan untuk dipergunakan mencari keadilan, kini dirasa bergerak kearah suatu “kebiasaan” yang dijadikan strategi terakhir dari para kontestan pemilu dalam mewujudkan ambisi serta cita-citanya duduk di kursi pemerintahan negeri ini. Sebagai akibatnya, persidangan yang idealnya menjadi ajang untuk mengelar fakta-fakta hukum seputar pelaksanaan pemilu guna mengungkap kebenaran telah diwarnai praktek-praktek suap diantara para pihak yang bersengketa dengan pihak oknum penyelenggara peradilan di Mahkamah konstitusi, dimana hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk mendapatkan legalisasi hasil pemilu sesuai dengan keinginan serta kepentingannya.



Sekretaris Jenderal MK, Janedri Mahili Gaffar didalam konferensi pers di MK, Jakarta, Selasa (13/5/2014) dini hari mengatakan permohonan penyelesaian sengketa pemilu dari partai politik masuk sebanyak 14 partai politik. 12 partai politik nasional dan dua partai lokal Aceh. Hanya ada satu partai lokal di Aceh yang tidak mengajukan permohonan. Sementara untuk calon perseorangan Dewan Perwakilan Daerah, sebanyak 30 calon anggota DPD berasal dari 19 provinsi mendaftarkan permohonannya. Berdasarkan keterangan tersebut maka nyata bahwa Jumlah pemohon penyelesaian sengketa pemilu yang masuk ke Mahkamah Konstitusi tahun 2014 meningkat apabila dibandingkan jumlah pemohon pada tahun 2009, dimana pada tahun 2009 terdapat 27 pemohon penyelesaian sengketa pemilu perorangan, sementara pada tahun 2014 terjadi peningkatan menjadi 30 pemohon perorangan.

Berdasarkan Pasal (10) ayat (1) huruf (d) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, jadi hukum yang berlaku di negara ini memang memberikan peluang bagi pihak peserta pemilu yang merasa hak-haknya telah dilanggar untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada Mahkamah  Konstitusi. Namun demikian perlu kiranya kita renungkan bersama bahwa Mahkamah Agung tidak boleh menjadi “keranjang sampah” kinerja buruk Komisi Pemilihan umum yang seharusnya dengan pengalaman pada tiga periode pemilihan sebelumnya dapat mereduksi jumlah kesalahan serta penyimpangan didalam praktek pemilu. Sehingga patut disayangkan pengalaman menyelenggarakan pemilu semenjak tahun 1999 tidak membentuk KPU menjadi suatu lembaga dengan kinerja yang lebih baik dan mampu menyelenggarakan suatu pesta demokrasi yang jujur dan adil sebagaimana diharapkan. Praktek-praktek penggelembungan suara, pencurian perolehan suara serta berbagai kecurangan lainnya masih kerap terjadi didalam praktek. Bahkan dengan meningkatnya jumlah pemohon yang mendaftarkan sengketanya di Mahkamah Konstitusi adalah suatu bukti bahwa kinerja KPU tidak berbanding lurus dengan pengalaman panjangnya dalam menyelenggarakan pemilu. KPU sebagai elemen utama dalam rangka supremasi demokrasi Indonesia sesungguhnya diharapkan mampu menunjukan citra terbaik untuk memadukan penerapan ilmiah administrasi pemilu dengan dipadukan berbagai unsur yang bersumber dari pengalaman. Pemilihan personil lapangan sebagai pihak yang langsung berada ditengah masyarakat hendaknya dilakukan secara lebih selektif melalui proses penyaringan ketat dengan mengutamakan sumber daya manusia serta mempertimbangkan elemen kepentingan pada personilnya itu sendiri, karena bukan tidak mungkin salah satu faktor yang mengakibatkan kinerja buruk bagi KPU adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia atau faktor kepentingan dari petugas lapangan yang diberikan mandat sebagai pelaksana pemilu.

Didalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi alinea kedua disebutkan bahwa “... Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu ...”, jadi sangat jelas dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi koreksi atas penyelenggaraan tata negara di Indonesia. Sedianya, berbagai pertimbangan yang dimuat didalam putusan Mahkamah Konstitusi dijadikan salah satu pedoman didalam merancang kebijakan pemilu dikemudian hari, karena tentu didalam pertimbangan-pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi terdapat alasan-alasan yang kuat untuk dijadikan dasar memutus sengketa yang terjadi. Berbagai argumentasi ilmiah berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipengadilan juga dapat dijadikan acuan dalam rangka penyusunan program kerja KPU sehingga elemen fakta dapat dijadikan studi kasus untuk mempelajari potensi kesalahan ataupun kekeliruan yang terjadi dilapangan. Dengan demikian akan tersusun suatu program kerja dengan berpedoman kepada fakta-fakta lapangan yang pernah terjadi sebelumnya. Selanjutnya KPU pusat memiliki kewajiban untuk melakukan pelatihan kepada para personilnya yang bertugas dilapangan agar tidak terdapat kekeliruan mengenai penafsiran program kerja KPU yang disebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia para personil lapangan.

Jika segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan program yang tepat maka selanjutnya yang menerima tongkat estafet kewajiban pelaksanaan pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu. Namun, rasa-rasanya pekerjaan yang diemban oleh Badan Pengawas Pemilu akan menjadi lebih ringan tatkala para pelaksana pemilu telah bekerja maksimal sesuai dengan program dan kebijakan KPU. Hal ini dikarenakan sistem KPU yang beroperasi dilapangan telah berjalan sesuai dengan ketentuan, dan kemungkinan terjadinya suatu penyelewengan menjadi lebih dapat ditekan, sehingga tidak memberikan peluang kepada peserta pemilu “nakal ” untuk menguji keberuntungan mencari legitimasi lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi,

Tentu saja bukan suatu pekerjaan mudah dalam menyelenggarakan suatu pesta demokrasi yang melibatkan hampir seluruh rakyat Indonesia, namun jika terdapat itikad baik serta etos kerja yang mengusung semangat profesionalisme, tentunya KPU akan dapat lebih meningkatkan akurasi serta kualitas kinerja, sehingga berbagai polemik seputar pemilu yang nantinya bermuara ke Mahkamah Konstitusi dapat diperkecil sampai jumlah yang optimum. Dengan demikian kesan KPU yang tidak mampu melaksanakan tugas sehingga harus melemparkan permasalahan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikannya akan berangsur berkurang. Maka adalah wajar jika kemudian publik berekspektasi agar KPU mau belajar dari kesalahan masa lalu yang mengakibatkan tingginya jumlah sengketa pemilu yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Melalui proses pembelajaran tersebut KPU akan bertransformasi menjadi suatu lembaga independen yang berkemampuan untuk memecahkan permasalahan terkait dengan kewenangannya, dan bukan lagi lembaga yang mengandalkan tebalnya benteng kewenangan Mahakamah Konstitusi yang notabene merupakan lembaga lain dengan kewenangannya tersendiri. Ditulis oleh: Admin Konsultasi Hukum 88



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postkan komentar atau permasalahan anda