Fenomena mengajukan permohonan penyelesaian sengketa hasil pemilu yang dilakukan sebagian peserta pemilu baik untuk pemilihan eksekutif maupun legislatif ditingkat pusat dan daerah tampaknya telah bergeser dari suatu peluang hukum yang dimaksudkan untuk dipergunakan mencari keadilan, kini dirasa bergerak kearah suatu “kebiasaan” yang dijadikan strategi terakhir dari para kontestan pemilu dalam mewujudkan ambisi serta cita-citanya duduk di kursi pemerintahan negeri ini. Sebagai akibatnya, persidangan yang idealnya menjadi ajang untuk mengelar fakta-fakta hukum seputar pelaksanaan pemilu guna mengungkap kebenaran telah diwarnai praktek-praktek suap diantara para pihak yang bersengketa dengan pihak oknum penyelenggara peradilan di Mahkamah konstitusi, dimana hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk mendapatkan legalisasi hasil pemilu sesuai dengan keinginan serta kepentingannya.
Sekretaris
Jenderal MK, Janedri Mahili Gaffar didalam konferensi pers di MK, Jakarta,
Selasa (13/5/2014) dini hari mengatakan permohonan penyelesaian sengketa pemilu
dari partai politik masuk sebanyak 14 partai politik. 12 partai politik
nasional dan dua partai lokal Aceh. Hanya ada satu partai lokal di Aceh yang
tidak mengajukan permohonan. Sementara untuk calon perseorangan Dewan
Perwakilan Daerah, sebanyak 30 calon anggota DPD berasal dari 19 provinsi
mendaftarkan permohonannya. Berdasarkan keterangan tersebut maka nyata bahwa
Jumlah pemohon penyelesaian sengketa pemilu yang masuk ke Mahkamah Konstitusi
tahun 2014 meningkat apabila dibandingkan jumlah pemohon pada tahun 2009,
dimana pada tahun 2009 terdapat 27 pemohon penyelesaian sengketa pemilu
perorangan, sementara pada tahun 2014 terjadi peningkatan menjadi 30 pemohon
perorangan.
Berdasarkan
Pasal (10) ayat (1) huruf (d) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, jadi hukum yang
berlaku di negara ini memang memberikan peluang bagi pihak peserta pemilu yang
merasa hak-haknya telah dilanggar untuk mengajukan permohonan penyelesaian
sengketa kepada Mahkamah Konstitusi. Namun demikian perlu kiranya kita
renungkan bersama bahwa Mahkamah Agung tidak boleh menjadi “keranjang sampah”
kinerja buruk Komisi Pemilihan umum yang seharusnya dengan pengalaman pada tiga
periode pemilihan sebelumnya dapat mereduksi jumlah kesalahan serta
penyimpangan didalam praktek pemilu. Sehingga patut disayangkan pengalaman
menyelenggarakan pemilu semenjak tahun 1999 tidak membentuk KPU menjadi suatu
lembaga dengan kinerja yang lebih baik dan mampu menyelenggarakan suatu pesta
demokrasi yang jujur dan adil sebagaimana diharapkan. Praktek-praktek
penggelembungan suara, pencurian perolehan suara serta berbagai kecurangan
lainnya masih kerap terjadi didalam praktek. Bahkan dengan meningkatnya jumlah
pemohon yang mendaftarkan sengketanya di Mahkamah Konstitusi adalah suatu bukti
bahwa kinerja KPU tidak berbanding lurus dengan pengalaman panjangnya dalam
menyelenggarakan pemilu. KPU sebagai elemen utama dalam rangka supremasi
demokrasi Indonesia sesungguhnya diharapkan mampu menunjukan citra terbaik
untuk memadukan penerapan ilmiah administrasi pemilu dengan dipadukan berbagai
unsur yang bersumber dari pengalaman. Pemilihan personil lapangan sebagai pihak
yang langsung berada ditengah masyarakat hendaknya dilakukan secara lebih
selektif melalui proses penyaringan ketat dengan mengutamakan sumber daya
manusia serta mempertimbangkan elemen kepentingan pada personilnya itu sendiri,
karena bukan tidak mungkin salah satu faktor yang mengakibatkan kinerja buruk
bagi KPU adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia atau faktor kepentingan
dari petugas lapangan yang diberikan mandat sebagai pelaksana pemilu.
Didalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
alinea kedua disebutkan bahwa “...
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman
kehidupan ketatanegaraan di masa lalu ...”, jadi sangat jelas dikatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi koreksi atas penyelenggaraan tata
negara di Indonesia. Sedianya, berbagai pertimbangan yang dimuat didalam
putusan Mahkamah Konstitusi dijadikan salah satu pedoman didalam merancang
kebijakan pemilu dikemudian hari, karena tentu didalam
pertimbangan-pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi terdapat
alasan-alasan yang kuat untuk dijadikan dasar memutus sengketa yang terjadi.
Berbagai argumentasi ilmiah berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipengadilan
juga dapat dijadikan acuan dalam rangka penyusunan program kerja KPU sehingga
elemen fakta dapat dijadikan studi kasus untuk mempelajari potensi kesalahan
ataupun kekeliruan yang terjadi dilapangan. Dengan demikian akan tersusun suatu
program kerja dengan berpedoman kepada fakta-fakta lapangan yang pernah terjadi
sebelumnya. Selanjutnya KPU pusat memiliki kewajiban untuk melakukan pelatihan
kepada para personilnya yang bertugas dilapangan agar tidak terdapat kekeliruan
mengenai penafsiran program kerja KPU yang disebabkan rendahnya kualitas sumber
daya manusia para personil lapangan.
Jika
segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan program yang tepat maka selanjutnya
yang menerima tongkat estafet kewajiban pelaksanaan pemilu adalah Badan
Pengawas Pemilu. Namun, rasa-rasanya pekerjaan yang diemban oleh Badan Pengawas
Pemilu akan menjadi lebih ringan tatkala para pelaksana pemilu telah bekerja
maksimal sesuai dengan program dan kebijakan KPU. Hal ini dikarenakan sistem
KPU yang beroperasi dilapangan telah berjalan sesuai dengan ketentuan, dan
kemungkinan terjadinya suatu penyelewengan menjadi lebih dapat ditekan,
sehingga tidak memberikan peluang kepada peserta pemilu “nakal ” untuk menguji
keberuntungan mencari legitimasi lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi,
Tentu
saja bukan suatu pekerjaan mudah dalam menyelenggarakan suatu pesta demokrasi
yang melibatkan hampir seluruh rakyat Indonesia, namun jika terdapat itikad
baik serta etos kerja yang mengusung semangat profesionalisme, tentunya KPU
akan dapat lebih meningkatkan akurasi serta kualitas kinerja, sehingga berbagai
polemik seputar pemilu yang nantinya bermuara ke Mahkamah Konstitusi dapat
diperkecil sampai jumlah yang optimum. Dengan demikian kesan KPU yang tidak
mampu melaksanakan tugas sehingga harus melemparkan permasalahan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikannya akan berangsur berkurang. Maka
adalah wajar jika kemudian publik berekspektasi agar KPU mau belajar dari
kesalahan masa lalu yang mengakibatkan tingginya jumlah sengketa pemilu yang
masuk ke Mahkamah Konstitusi. Melalui proses pembelajaran tersebut KPU akan
bertransformasi menjadi suatu lembaga independen yang berkemampuan untuk memecahkan
permasalahan terkait dengan kewenangannya, dan bukan lagi lembaga yang
mengandalkan tebalnya benteng kewenangan Mahakamah Konstitusi yang notabene
merupakan lembaga lain dengan kewenangannya tersendiri. Ditulis oleh: Admin Konsultasi Hukum 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Postkan komentar atau permasalahan anda