Apabila kita datang kesuatu pusat perbelanjaan
seringkali kita temukan kata-kata seperti ini "Memecahkan barang
berarti membeli", "Membuka segel berarti membeli",
"Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan" atau
"Barang hilang diluar tanggung jawab pengelola". kata-kata
tersebut didalam ilmu hukum disebut sebagai "klausula baku"
atau "klausula standar". Para pelaku usaha atau biasa
disebut pengusaha umumnya berusaha menghindari kerugian semaksimal mungkin.
Jika upaya untuk menghindari kerugian tersebut memang dilakukan dengan
cara-cara yang wajar tentu tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah
apabila pelaku usaha membebankan resiko kerugian tersebut kepada
konsumen.
Coba kita
renungkan, bukankah kita sebagai konsumen memiliki hak untuk mengetahui sampai
sejauh mana kualitas barang yang hendak kita beli, lalu apakah kita bisa
mengetahui kualitas barang tersebut seandainya masih berada didalam kotak yang
bersegel. Kasus lain pada toko buku, buku-buku dijaga kebersihannya dengan
dibungkus plastik yang menyulitkan konsumen untuk membaca isi suatu buku,
masalahnya kemudian adalah apakah konsumen yang harus tau apakah suatu isi buku
yang hendak dibelinya tersebut sesuai dengan yang diperlukannya atau tidak maka
perlu untuk melihat isi buku hingga mengetahui apa kandungan materi didalamnya.
Sekalipun
hubungan diantara konsumen dengan pelaku usaha adalah hubungan timbal
balik yang menguntungkan (simbiosis mutualisme) namun pada
kenyataannya dalam praktek kerapkali pelaku usaha bersikap otoriter kepada
konsumennya, mengapa demikian? hal ini dikarenakan umumnya pelaku usaha jauh
berada diatas konsumen baik dari segi finansial, penguasaan iptek, pengetahuan
produk secara ilmiah bahkan sampai jaringan politik, hal inilah yang
menyebabkan para pelaku usaha bersikap otoriter kepada konsumennya hingga pada
akhirnya muncul adagium "take it or leave it" seolah-olah
Pelaku usaha tidak membutuhkan konsumen. Ironisnya karena konsumen terdesak
oleh kebutuhan guna memenuhi kepentingan hariannya maka tidak ada jalan lain
kecuali terpaksa menuruti apa yang digariskan secara sepihak oleh pelaku usaha.
untuk itulah
kemudian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dilahirkan yang bertujuan tidak lain adalah untuk mensejajarkan
posisi konsumen dengan pelaku usaha sehingga timbul posisi tawar yang sama
kuatnya didalam praktek transaksi. Kembali ketopik utama, Pasal 18
Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen mengatur dengan tegas
apa yang menjadi larangan bagi pelaku usaha dalam menerapkan klausula baku.
Hal-hal yang dilarang tentunya adalah klausula yang isinya merugikan pihak
konsumen baik mengurangi hak konsumen atau pengalihan tanggung jawab kepada
konsumen.
Lalu apa saja
kiranya yang menjadi hak dari konsumen berdasarkan ketentuan
Pasal 18
Undang - Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. berikut ini akan diulas
poin-poin utama yang menjadi hak konsumen berdasarkan pasa;l tersebut diatas :
- Konsumen berhak menolak bertanggung jawab untuk hal-hal yang seharusnya menjadi kewajiban pelaku usaha (misal, masalah pengembalian barang yang cacat atau rusak);
- Konsumen berhak untuk mengembalikan barang yang telah dibeli jika pada barang tersebut terdapat kerusakan, cacat tersembunyi, ketidakcocokan spesifikasi atau barang yang dibeli tersebut ternyata fungsinya tidak sesuai dengan yang dimaksudkan atau diharapkan;
- Konsumen berhak menerima pengembalian uang apabila terjadi pengembalian barang;
- Konsumen berhak menerima haknya secara penuh atas jasa yang dibayarnya;
- Konsumen berhak menolak ketentuan-ketentuan yang dirasa merugikan haknya;
- Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai barang atau jawa yang hendak dibelinya.
Dari ketentuan
diatas maka dapat disimpulkan bahwa kita selaku konsumen memiliki
hak-hak yang jelas dan tidak dapat dipaksa oleh para pelaku usaha.
Undang-Undang melindungi hak kita sehingga jika berhak untuk meminta hak bahkan
jika perlu kita dapat memaksa pelakuusaha untuk memenuhi hak kita yang mana hal
tersebut merupakan kewajiban baginya.
Sudah saatnya
sekarang kita bertansformasi dari konsumen yang harus menerima kondisi dan
berubah menjadi konsumen cerdas yang mampu mempertahankan hak-hak yang
dimilikinya. Jadilah konsumen cerdas yang mengerti hak-haknya dan tidak pasrah
menerima saat menerima kesewenangan pelaku usaha. Ditulis oleh: Admin Konsultasi Hukum 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Postkan komentar atau permasalahan anda